PROBLEMA MORFOLOGIS DALAM BAHASA INDONESIA
PROBLEMA
MORFOLOGIS DALAM BAHASA INDONESIA
Menurut
(Muslich 2010:131), setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, walaupun
dikatakan mempunyai sistem, dalam pemakaian selalu timbul masalah-masalah, baik
masalah yang berhubungan dengan bunyi, bentukan kata, penulisan maupun
pemakaian kalimat. Hal itu disebabkan oleh sifat bahasa yang selalu berkembang
seiring dengan perkembangan pikiran dan budaya pemaiaki bahasa yang
bersangkutan.
Pemakaian
kata dalam bahasa Indonesia juga menimbulkan problema-problema :
1) Problema
akibat bentukan baru,
2) Problema
akibat kontaminasi,
3) Problema
akibat adanya unsur serapan,
4) Problema
akibat analogi,
5) Problema
akibat perlakuan kluster,
6) Problema
akibat morfologis bentuk serapan, dan
7) Problema
akibat perlakuan bentuk majemuk.
A. PROBLEMA
AKIBAT BENTUKAN BARU
Menurut
(Muslich 2010:131), Pada akhir-akhir ini, banyak sekali bentukan baru sebagai
hasil kreasi pemakai bahasa Indonesia. Misalnya bentuk :
·
Memberhentikan
·
Memberlakukan
·
Keberhasilan
·
Keterbelakangna
·
Dikesankan
·
Dikekirikan
·
Turunisasi
·
Lelenisasi
·
Duniawi
·
Badani, misalnya dalam kalimat
:
1. Direktur CV “Marga” telah
memberhentikan sekretarisnya.
|
2. Apakah Saudara tidak tahu
bhawa Ketua RT telah memberlakukan keputusan rapat warga seminggu yang lalu ?
|
3. Keberhasilan yang andai capai
selama ini harus Anda pertahankan.
|
4. Kita harus belajar giat agar
keterbelakangan kita tidak terulang.
|
5. Agar tidak semrawut,
barang-barang ini perlu dikesankan.
|
6. Supaya lapang, letak tiang ini
sebaiknya dikekirikan sja.
|
7. Program turinisasi di daerah
Probolinggo telah berhasil.
|
8. Program lelenisasi sangat
tepat dilakukan di daerah-daerah rawa.
|
9. Sebagai manusia sosial, kita
ahrus manusiawai terhadapa sesama.
|
10. Menurut cerita barang siapa
minum air surgawai akan awet muda.
|
Bentuk
memberhentikan dan memberlakukan tergolong bentuk baru sebab bentuk yang
berkonstruksi demikian (yaitu prefiks+prefiks +bentuk dasar+ sufiks) sebelumnya
tidak ditemukan. Dari kenyataan itu, lalu timbul pertanyaan:”Apakah dibenarkan
suatu konstruksi yang dibentuk denagn dua prefiks?’’ pertanyaan itu akibat
ketidaktahuannya atas proses pembentukan konstruksi diatas.








ber- henti ber- laku
Dari
diagram itu juga terliaht bahwa bentuk dasar konstruksi memberhentikan adalah
berhenti, sedangkan bentuk dasar konstruksi memberlakukan adalah berlaku, dan
bukan henti dan laku. Dengan demikian walaupun terdapat dua prefiks, konstruksi
itu tetap dibenarkan selain bentuk menghentikan dan melakukan. Begitu juga
konstruski diberhentikan, diberlakukan, dimengerti, diberangkatkan, dan
sebagainya.
Bagaimana
dengan konnstruksi keberhasilan dan keterbelakangan ? proses pembentukan
konstruksi ini sama dengan proses pementukan konstruksi memberhentikan, yaitu
secara bertahap. Demikian, bentuk dasarnya adalah berhasil dan terbelakang,
bukan hasil dan belakang.
Konstruksi
dikesankan dan dikekirikan merupakan bentuk baru sebagai hasil analogi bentuk
dikemukakan dan dikesampingkan. Konstruksi ini bentuk dasar frase, yaitu
kesana, kekiri, kesamping, dan ke muka. Konstruksi ini dibenarkan sebab bentuk
dasar tidak berlaku monomorfemis, tetapi juga polimorfemis, bisa dua morfem,
tiga morfem, empat morem.
Konstruksi
turinisasi dadn lelenisasi juga merupakan bentuk baru akibat perlakuan afiks
asing dalam proses morfologis bahasa Indonesia. Kita tahu bahwa afiks
{-(n)isasi} berasal dari bahasa inggris –(n)ization. Bentuk afiks ini, apabila
menempel pada bentuk adsar bahasa yang bersangkutan misalnya modernisasi
(“modernization”), standartisasi (“standardization”), berati hal yang
berhubungan denagn bentuk dasarnya’ yang berfungsi pembedaan secara abstrak.
Konstruksi
lain yang tergolong bentukan baru adalah konstruksi manusiawai dan surgawi.
Konstruksi itu mengalami proses morfologis dengan jalan menambhakan morfem
afiks {-wi}pada bentuk dasar manusia dan surga.
Ternyata
akhiran –wi (-i) yang berasal dari bahsa Arab itu, setelah konsep kedalam bhasa
Indonesia, diberlakukan sebagai afiks bahasa Indonesia. Oleh karena itu,
afiks-wi(-i) sekarang mampu bergandeng denagn bentuk dasar selain dari bahasa
alinya ( bahasa Arab) .
B. PROBLEMA
AKIBAT KONTAMINASI
Menurut
(Muslich 2010:134),
Kontaminasi merupakan gejala bahasa yang mengacau konstruksi kebahasaan. Dua
konstruksi, yang mestinya harus berdiri sendiri sendiri secara terpisah,
dipadukan menjadi satu konstruksi. Akibatnya, konstruksi menjadi kacau atu
rancu artinya.kontaminasi dalam konstruksi kata, misalnya “diperlebar”,
*mengenyampingkan, *dipelajarkan.
Konstruksi *diperlebarkan merupakan hasil pencampuradukan kostruski
diperlebar dan dilebarkan yang masing-masing berarti ‘ dibuat jadi lebih besar
lagi’ dan ‘dibuat jadi lebar’. Oleh karena itu, konstruksi diperlebarkan
dianggap sebagai konstruksi yang rancu.
Konstruksi* mengenyampingkan juga
dianggap sebagi konstruksi yang rancu sebab merupakan hasil pemaduan konstruksi
mengesampingkan dan menyampingkan. Yang dikacaukan bukan artinya, tetapi
morfofonemisnya, yaitu meluluhkan bunyi [s] pada ke samping dan bentuk ke
samping.
Konstruksi *dipelajarkan merupakan
hasil pencampuran konstruski dipelajarai dan diajarkan, yang masing-masing
mempunyai arti sendiri. Denagn pencampuran itu artinya artinay menjadi kabur.
Oleh sebab itu, bentuk itu dikatakan sebagai bentuk yang rancu.
C.
PROBLEMATIKA
AKIBAT UNSUR SERAPAN
Menurut
(Muslich 2010:135), adanya unsur bahasa asing yang terserap alam bahasa
Indonesia juga membuat problema tersendiri. Yang terlihat pada kekacauan dan
keraguan pemakaian bentuk
Ø data – data, datum – datum,
Ø fakta – fakta, faktum – faktum,
Ø alumni, alumnus, para alumni, para alumnus
Kata data dan datum, fakta dan faktum,
alumni dan alumnus berasal ari bahasa Latin, yang masing – masing
kata berarti ‘jamak’ dan ‘tunggal’. Setelah terserap dalam bahasa Indonesia
hanya bentuk jamaknya yaitu data, fakta, dan alumni. Sedangkan
tunggalnya yaitu datum, faktum, dan alumnus yang tidak terserap
dalam bahasa Indonesia.
Unsur asing yang terserap ke dalam bahasa Indonesia
dianggap sebagai satu kesatuan bentuk dan berarti tunggal. Contoh dalam
kontruksi kata berikut:
Ø
data
– data

Ø fakta – fakta
Ø para alumni benar
Ø banyak data
Ø banyak fakta
Ø
datum
– datum

Ø faktum – faktum salah
Ø para alumnus
Ø
para
hadirin

Ø hadirin sekalian dianggap benar, walaupun dalam bahasa
asingnya (bahasa Arab) berarti ‘jamak’.
Ø para ulama
Ø para arwah (pahlawan)
D.
PROBLEMA
AKIBAT ANALOGI
Menurut (Muslich 2010:136) sebagai istilah bahasa,
analogi adalah bentukan bahasa dengan menurut contoh yang sudah ada. Gelaja
analogi sangat penting dalam pemakaian bahasa karena pada dasarnya pemakaian
bahasa dalam menyusun kalimat, frase, dan kata beranalogi pada contoh yang
telah ada atau yang telah diketahuinya. Contoh:
Ø
Ketidakadilan
membentuk kontruksi ketidakberesan


Ø
Dikesampingkan
membentuk kontruksi dikekanankan



Ø
Pemersatu ‘yang mempersatu’ membentuk kontruksi memperhati
Ø
Penyuruh
dan pesuruh (yang masing – masing berarti orang
yang menyuruh dan orang yang disuruh) membentuk pasangan penatar




Masalah selanjutnya adalah banyaknya pemakai bahasa
(Indonesia) yang salah analogi akibat ketidakpahaman mereka terhadap bentuk –
bentuk yang dicontohkannya dan dibuatnya. Misalnya pihak = fihak, anggota = anggauta,
dan kata serapan alternative = alternasi.
Kata pihak = fihak adlah contoh bunyi [p] pada
unsur serapan dikembalikan lagi ke bunyi aslinya, yaitu [f]. Pengembalian kata pikir,
paham, dan pascal menjadi kata fikir, faham,dan fatsal adalah
benar karena kata tersebut berasal dari bahasa Arab. Kata pihak = fihak adalah hasil analogi yang salah karena kata pihak
bukan dari bahasa Arab, melainkan
dari bahasa Melayu.
Begitu juga dengan kata anggota = anggauta. Orang
menganggap bahwa kata anggota sebagai hasil dari kata anggauta sebagaimana halnya dengan kata topan dan tobat senagai hasil sandi dari kata
taufan dan taubat. Oleh sebab itu kata angguta dianggap
sebagai analogi yang salah.
Ada pula kata serapan yang dianalogikan secara salah.
Bentuk yang berakhiran dengan if
biasanya berkelas kata sifat, sedangkan yang berakhiran si
biasanya berkelas kata benda. Contoh:
Ø Alterntif menjadi alternasi
Ø Produktif menjadi
produksi
Ø Kompetitif menjadi
kompetisi
Ø
Edukatif menjadi edukasi
E. Problema Akibat Perlakuan Klutser
Klutser atau konsonan rangkap
mengundang problem tersendiri dalam pembentukn kata bahasa Indonesia. Hal ini
disebabkan bahwa kata bahasa Indonesia asli tidak mengenal klutser. Kata yang
berklutser (yang dipakai dalam bahasa Indonesia) itu berasal dari unsur
serapan. Misalnya program, proklamasi, prakarsa, traktir, transfer,
transkripsi, sponsor, standar, skala, klasifikasi, kritik, kronologi.
I
II
Memprogramkan
memrogramkan
Pemprograman
pemrograman
Memproklamasikan
memroklamasikan
Pemproklamasian pemroklamasian
Apabila menurut sistem bahasa
Indonesia, kita cenderung memilih/menggunakan deretan II. Tetapi, ada beberapa
keberatan/kelemahannya, antara lain:
Bentuk serapan di atas berbeda sifatnya dengan bentuk
dasar bahasa Indonesia asli, yaitu konsonan rangkap dan tidak (walaupun
keduanya berawal dengan k, p, t, s);
Apabila diluluhkan, kemungkinan besar akan menyulitkan
penelusuran kembali bentuk aslinya;
Ada beberapa bentuk yang dapat menimbulkan
kesalahpahaman arti.
Oleh karena itu, kita sebaikny
memilih deretan I, yaitu tidak meluluhkan bunyi awal bentuk serapan yang
berklutser.
F. Problema Akibat Proses Morfologi Unsur
Serapan
Pada dasarnya, bentuk serapan dapat dikelompokkan
menjadi dua yaitu:
Bentuk serapan yang sudah lama menjadi keluarga bahasa
Indonesia sehingga sudah tidak terasa lagi keasingannya. Bentuk serapan
kelompok pertama dapat diperlakukan secara penuh mengikuti sistem bahasa
Indonesi, termasuk proses morfologisnya.
Bentuk serapan yang masih baru sehingga masih terasa
keasingannya. Kelompok kedua ini belum dapat diperlakukan secara penuh
mengikuti sistem bahasa Indonesia.
Hampir semua bentuk serapan dalam bahasa Indonesia
dapat dibentuk dengan penambahan afiks atau pengulangan. Yang menjadi
pertanyaan adalah “Apakah semua bentuk serapan mengikuti sistem pembentukan
kata yang selama ini diterapkan dalam bentuk-bentuk bahasa Indonesia asli?”
masalah ini timbul karena terdapat persaingan pemakaian pasangan konstruksi.
Misalnya, menterjemahkan dan menerjemahkan, mensuplai dan menyuplai, memparkir
dan memarkir, mengkalkulasi dan mengalkulasi. Mana yang benar? Konstruksi yang
telah diasimilasikan ataukah yang belum diasimilasikan?.
Berdasarkan pengelompokkan bentuk serapan diatas,
kiranya kita dapat menyikapi apakah bentuk terjemah sudah lama terserap kedalam
bahasa Indonesia atau belum. Jika sudah lama, berarti bentuk serapan itu patut
diperlakukan secara penuh mengikuti sistem bahasa Indonesia. Dengan demikian,
apabila bentuk terjemah digabungkan dengan {meN-kan} akan menjadi menerjemahkan
sebab, berdasarkan sistem bahasa Indonesia, for [p] yang mengawali bentuk dasar
akan luluh apabila bergabung dengan afiks {meN-(kan/i)} dan {peN-(an)}.
G. Problema akibat perlakukan bentuk majemuk
Problema morfologis terakhir yang berhasil dicatat yaitu problema
akibat bentuk majemuk. Problema itu terlihat pada persaingan pemakaian bentuk pertanggungan jawab, kewarganegaraan dan kewargaan negara, menyebarluaskan dan menyebarkan luas. Dari contoh itu
terlihat dua perlakuan bentuk majemuk, yaitu benuk majemuk yang unsur-unsurnya
dianggap satu kesatuan dan bentuk majemuk yang dianggap renggang.
Pendapat Pertama
(unsur-unsur padu)
|
Pendapat Kedua
(unsur-unsur renggang)
|
Tanggung
jawab
|
![]() |
Warga
negara
|
![]() |
Sebar
luas
|
![]() |
dapat
diketahui bahwa pendapat yang benar adalah pendapat pertama, karena suatu
bentuk dikatakan bentuk majemuk apabila unsur-unsurnya pekat dan padu. Jika
sebaliknya, unsur-unsurnya longgar maka tidak dapat dikatakan bentuk majemuk,
tetapi frase.
DAFTAR PUSTAKA
Masnur,Muslich.2010. Tata Bentuk Bahasa Indonesia.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Komentar
Posting Komentar